A.
Pengertian Puasa
Puasa
merupakan terjemahan dari kata bahasa arab shoumun, shiyamun. Arti puasa
menurut bahasa ialah menahan. Sedangkan menurut istilah syari’at islam ialah
menahan dari perkara-perkara yang membatalkan selama satu hari penuh mulai dari
terbitnya fajar shodiq sampai terbanam matahari dengan disertai niat.
B.
Macam-macam Puasa
Malikiyyah, syafi’iyyah dan
hanabillah sepakat bahwa puasa terbagi menjadi 4 bagian:
a.
Puasa fardlu (wajib)
b.
Puasa sunnah
c.
Puasa haram
d.
Puasa makruh
Sedangkan menurut
Hanafiyah puasa itu terbagi 2 bagian:
a.
Puasa fardlu
b.
Puasa sunnah
Ø Puasa Wajib
-
Puasa ramadlan
Merupakan rukun islam yang ke-3, diwajibkan
pada tahun ke dua hijriyah, yaitu tahun kedua sesudah nabi Muhammad SAW hijrah
ke madinah. Wajib dilakukan bagi orang islam yang berakal, baligh, sehat,
menetap dan wanita yang suci dari hadats besar.
-
Puasa qadha’
Diwajibkan bagi muslim yang berhalangan
menunaikan puasa ramadhan pada waktunya karena adanya udzur, dan dilaksanakan
setelah bulan ramadhan di luar hari-hari larangan (tasyrik).
-
Puasa kafarat
Adalah puasa yang wajib dilakukan oleh
muslim yang tidak berpuasa di bulan ramadhan karena khilaf.
-
Puasa nadzar
Puasa nadzar wajib dilaksanakan menurut
nadzar yang telah dinadzarkan.
C. Dalil Puasa
Wajib
1.
Puasa Ramadhan

“[2:185]
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
2.
Puasa Nadzar

“[22:29]
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran988
yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar
mereka989 dan hendaklah mereka melakukan
melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).”
3.
Puasa Qada’

“[3:133]
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
4.
Puasa Kafarat

“[5:89]
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
D. Puasa
Sunnah.
1.
Pengertian Puasa Sunnah
Puasa
sunnah adalah puasa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW, jika dikerjakan akan
mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa.
Puasa
sunnah juga dapat disebut dengan puasa Tathawwu’. Tathawwu artinya mendekatkan
diri kepada Allah SWT dengan melakukan amal ibadah yang tidak wajib.
2.
Macam-macam Puasa Sunnah (Tathawwu’)
Menurut
kesepakatan para Ulama, yang termasuk puasa tathawwu adalah sebagai berikut:
a.
Puasa Sehari dan Berbuka Sehari (Daud)
Puasa
Daud adalah puasa yang dahulu pernah dilakukan oleh Nabi Daud as., yang
dilaksanakan sehari berpuasa dan sehari berbuka. Hal ini berdasarkan hadits
yang terdapat dalam kitab as-Shahihain, dikemukakan sebagai berikut:
Artinya:
“Puasa yang paling utama ialah puasa Daud. Dia berpuasa sehari dan berbuka sehari”.
(HR. Muttafaqun’ alaih).
b.
Puasa Putih (Shiyamul-Bidh)
Dalam
puasa jenis ini yang lebih utama ialah berpuasa pada tiga hari Bidh, yakni pada
tanggal 13,14, dan 15. Ketiga hari ini dinamakan Bidh, karena malam hari pada
ketiganya diterangi bulan dan siang harinya diterangi matahari. Sabda
Rasulullah SAW:
Artinya:
“Dari Abu Dzar, Rasulullah SAW. Telah berkata: ‘Hai Abu Dzar, apabila engkau
hendak puasa hanya tiga hari dalam satu bulan, hendaklah engkau puasa pada
tanggal 13,14, dan 15”. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
c.
Puasa Senin-Kamis
Puasa
Senin-Kamis dituntunkan oleh Rasulullah SAW. untuk dapat dijadikan amalan
sunnah oleh umatnya, sebagaimana diterangkan dalam sebuah Hadits.
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi SAW., berpuas apada hari Senin-Kamis lalu ketika beliau dintanya
mengenai hal itu, beliau bersabda : ‘Sesungguhnya, amalan-amalan manusia
diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis’.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).
d.
Puasa Syawal
Puasa Syawal adalah puasa yang dilaksanakan setelah tanggal
1 Syawal sebanyak 6 hari. Puasa ini dapat dilaksanakan berturut-turut atau
dapat juga dilaksanakan tidak secara berturut-turut. Karena dalam hal demikian,
berarti seseorang bersegera dalam melakukan ibadah. Seseorang akan mendapatkan
pahala puasa tersebut meskipun puasanya dimaksudkan sebagai puasa qadha’,
nadzar, atau yang lainnya.
Artinya: “Dari Abu Ayyub, Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa puasa dalam bulan Ramadhan, kemudian ia puasa pada enam hari pada
bulan Syawal, adalh seperti puasa sepanjang masa”. (HR. Muslim)
e.
Puasa ‘Arafah
Puasa ‘Arafah ialah puasa sunnah yang dituntunkan Rasulullah
untuk dapat ditunaikan oleh setiap Muslim yang tidak sedang melakukan ibadah
haji. Sedang bagi orang yang sedang menunaikan ibadah haji, ibadah ini tidak
ditentukan, bahkan Rasulullah melarang orang yang tengah berada di ‘arafah
(wuquf) melakukan puasa Arafah ini tuntunan ibadah puasa ‘Arafah ini didasarkan
pada hadits Rasulullah SAW.
Artinya: “Nabi SAW. telah ditanya tentang puasa Arafah,
beliau berkata: Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa satu tahun yang telah
lalu, dan satu tahun yang akan datang”. (HR. Muslim).
Adapun orang yang melakukan ibadah haji tidak disunnahkan
berpuasa pada hari ‘Arafah justru disunnahkan berbuka pada hari ini, meskipun
kuat berpuasa.
Namun, madzhab Hanafi menyatakan bahwa, orang yang melakukan
ibadah haji boleh berpuasa pada hari ‘Arafah. Dengan catatan puasanya tidak
membuat lemah.
f.
Puasa pada hari Tasu’ah dan ‘Asyura:
yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Puasa jenis ini disunnahkan lagi (akan lebih baik) jika
keduanya dilakukan secara berurutan. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
Artinya: “Rasulullah ditanya tentang puasa ‘Asyura’ beliau
berkata: ‘Puas hari ‘Asyura’ itu menghapuskan dosa satu tahun yang telah
lalu”.(HR. Muslim)
Para Ulam berpendapat bahwa hadits-hadits yang memerintahkan
puasa pada hari ‘Asyura’ menunjukkan bahwa puasa tersebut sangat ditekankan.
Seseorang yang berpuasa Tasu’a tanpa Asyura’, menurut
madzhab Syafi’i, disunnahkan berpuasa pada tanggal 11 muharram. Bahkan Imam
Syafi’i dalam kitabnya al-Umm dan Al-Imla’ lebih menegaskan mengenai
disunnahkannya puasa pada ketiga hari tersebut (yakni tanggal 9,10, dan 11
Muharram.
Rasulullah SAW, memerintahkan puasa Asyura’ ini sebelum
turunnya kewajiban berpuasa pada bulan ramadhan, dan menurut Jumhur Ulama
hukumnya tidak wajib, melainkan sunnah muakad, dan hukum itu tetap berlaku
setelah puasa Ramadhan diwajibkan.
g.
Puasa pada bulan Muharram dan Sya’ban
Berpuasa pada bulan Muharram dan Sya’ban merupakan
keutamaan, karena menurut berbagai riwayat, Rasulullah SAW, selalu puasa dan
menganjurkannya agar umatnya berpuasa pada bulan tersebut.
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., bersabda Rasulullah SAW.:
Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan ialah (puasa pada) bulan Allah, Muharram,
dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu ialah shalat malam”. (HR. Muslim).
Sebagian orang memandang makruh berpuasa pada pertengahan
bulan Sya’ban. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa puasa pada pertengahan akhir
bulan Sya’ban, hukumnya tidak sah. Pendapat ini didasarkan pada hadits berikut:
Artinya: “Jika (bulan) Sya’ban telah mencapai pertengahan,
maka janganlah kalian berpuasa”. (HR.Muslim)
3.
Beberapa Pendapat Madzhab Mengenai
Puasa Sunnah
Para
fuqaha mengklasifikasikan puasa-puasa tathawwu’ sebagai berikut:
Imam Hanafi
Puasa tathawwu’,
menurut madzhab ini terdiri atas tiga macam, yaitu:
(1)
Puasa Sunnah
Puasa
Sunnah adalah puasa yang dilakukan oleh Rasulullah secara terus-menerus.
Seperti
Puasa ‘Asyura yang disertai puasa Tasu’a.
(2)
Puasa Mandub
Puasa
yang dilakukan oleh Rasulullah tidak terus-menerus.
Seperti
puasa tiga hari dalam setiap bulan. Puasa dalam tiga hari ini dipandang sebgai
puasa mandub karena ketiganya merupakan hari Bidh, yaitu pada tanggal 13,14,
dan 15. Puasa mandub lainnya adalah puasa pada hari Senin-Kamis dan puasa pada
enam hari pada bulan Syawal. Puasa mandub berikutnya adalah puasa ‘Arafah.
Puasa ini dipandang mandub, sekalipun bagi orang yang melakukan ibadah haji.
Dengan catatan, puasa tersebut tidak membuatnya lemah ketika wukuf di ‘Arafah.
Jika puasa tersebut membuatnya lemah, maka hukumnya makruh.
(3)
Puasa Nafilah
Puasa
Nafilah adalah puasa selain keduanya, yakni puasa yang dianjurkan oleh syara’
secara umum.
Madzhab Maliki
Menurut madzhab
ini, puasa tathawwu’ terdiri atas 3 jenis, yaitu puasa sunnah, puasa mustahab,
dan puasa nafilah. Dalam hal ini pendapat mereka sama dengan pendapat madzhab
Hanafi.
Puasa sunnah adalah puasa Asyura’, yakni
tanggal 10 Muharram, sedangkan puasa Mustahab adalah puasa pada bulan-bulan
mulia puasa pada bulan Sya’ban, puasa sepuluh hari bulan Dzulhijah, puasa
‘Arafah , puasa enam hari dalam bulan Syawal, puasa tiga hari dalam setiap
bulan, puasa hari Senin-Kamis. Adapun puasa nafilah adalah semua puasa yang
tidak mempunyai waktu dan sebab, selain pada hari-hari puasa yang diwajibkan
atau dilarang.
Madzhab Syafi’i
Menurut madzhab Syafi’i, tathawwu’ yang
sangat ditekankan (mu’akad) ada dua bagian. Bagian pertama adalah puasa yang
dilakukan secara tidak berulang-ulang, seperti puasa dahr. Bagian pertama
adalah puasa yang dilakukan secara berulang-ulang.
Puasa bagian yang
kedua ini terdiri atas tiga macam, yaitu:
1.
Puasa yang dilakukan secara berulang karena berulangnya
tahun, yaitu puasa ‘Arafah, puasa pada sepuluh hari pada bulan Dzulhijah, puasa
Asyura’ dan Tasu’ah, puasa 11 Muharram dan puasa enam hari dalam bulan Syawal.
2.
Puasa yang dilakukan secara berulang karena berulangnya
bulan, yaitu puasa pada hari bidh (tanggal 13,14, dan 15) dan puasa pada hari
sud (tanggal 28, dan dua hari berikutnya). Jika suatu bulan berjumlah 29 hari,
satu hari berikutnya (tanggal 30) diganti dengan tanggal 1 bulan sesudahnya.
Sebagai kehati-hatian (ihtiyath), seseorang disunnahkan berpuasa pada hari sud
sejak tanggal 27.
3.
Puasa yang dilakukan berulang karena berulangnya Minggu,
yaitu puasa pada hari Senin dan Kamis.
Madzhab Hambali
Madzhab Hambali
merinci waktu-waktu puasa tathawwu’ sebagai berikut. Puasa yang paling utama
ialah puasa Daud. Puasa Dahr, hukumnya tidak makruh, kecuali bagi orang-orang
yang mengkhawatirkan adanya bahaya atau tidak terpenuhi hak dirinya. Puasa tiga
hari dalam sebulan, hukumnya sunnah. Yang lebih utama lagi adalah puasa
hari-hari bidh.
Seseorang
disunnahkan berpuasa pada hari Senin-Kamis. Begitu juga pada enam hari dalam
bulan Syawal. Dan sebaiknya dilakukan secara berturut-turut sesudah hari raya,
kecuali bagi orang yang memiliki halangan.
Puasa pada bulan
Muharram, hukumnya sunnah. Bulan ini merupakan bulan yang paling utama setelah
bulan Ramadhan. Yang lebih ditekankan lagi adalah puasa pada hari Asyura’.
Pahala puasa pada hari ini adalah kafarat untuk dosa 1 tahun.
Puasa sepuluh hari dalam bulan Dzulhijah,
hukumnya sunnah. Puasa pada hari ini lebih utama daripada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Dalam bulan ini, puasa yang lebih ditekankan adalah puasa pada
hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijah). Pahala puasa pada hari ini merupakan
kafarat untuk dosa dua tahun.
E. Hadits Puasa Sunnah.
1.
Puasa enam hari di bulan syawal
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ
كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa
Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti
setahun penuh.” (HR. Muslim)
2.
Puasa sepuluh hari pertama bulan
dzulhijjah
مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَقَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْءٍ
"Tidak hari-hari yang
beramal shalih pada hari itu lebih Allah cintai daripada amal shalih yang
dilakukan pada sepuluh hari ini." Para sahabat bertanya, "Tidak pula
jihad di jalan Allah?" Beliau menjawab, "Tidak pula jihad di jalan
Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak
kembali dengan membawa apapun."
3.
Puasa muharram
اللَّيْلِ صَلاَةُ الْفَرِيضَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ وَأَفْضَلُ الْمُحَرَّمُ اللَّهِ
شَهْرُ رَمَضَانَ بَعْدَ الصِّيَامِ أَفْضَلُ
“… dan
barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Muharram maka baginya dari setiap
hari (bagaikan berpuasa) 30 hari”.
4.
Puasa hari tasu’a dan asyura’
أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ
"Puasa hari 'Asyura, sungguh
aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim no. 1975)
5.
Puasa
sya’ban
مَا
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ
شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya tidak pernah melihat Nabi shollallâhu ‘alaihi
wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada Sya’ban
dan Ramadhan.”
6.
Puasa
pada bulan – bulan haram
وَالأرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ مَعَ الْمُتَّقِينَ مَعَ تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah
dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan
bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
7.
Puasa
senin dan kamis
الُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ
عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌالأَعْمَتُعْرَضُ
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah)
pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku
sedang berpuasa.”
(HR. Tirmidzi no. 747. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan
ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi, shahih dilihat dari jalur lainnya. Lihat Shahih At Targhib wa At
Tarhib no. 1041)
8.
Puasa
ayyamul bidh
حَضَرٍ وَلا سَفَرٍ في الْبِيضِ أَيَّامِ مَ
صَوْيَدَعُ لا
وسلم عليه اللَّهُ صلى اللَّهِ رسول كان
“Adalah
Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan puasa pada
hari-hari putih,baik diwaktu safar maupun disaat mukim.”
(HR.At-thabarani:
,dishahihkan Al-Albani dalam shahihul jami’:4848).
9.
Puasa
daud
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ
إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ
وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Puasa
yang paling disukai di sisi Allah adalah puasa Daud, dan shalat yang paling
disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam
dan bangun pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam
malam terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan buka sehari.”
10. Puasa hari arafah
يَوْمِ عَاشُورَاءَ
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ امُصِوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa
setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan
menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
F. Hal yang membatalkan puasa
1.
Muntah yang
disengaja
Nabi SAW bersabda :
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَنْ
ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنْ اسْتَقَاءَ عَمْدًا
فَلْيَقْضِ
Artinya : “Barang siapa yang muntah
karena tidak sengaja, maka tidak ada kewajiban mengganti puasanya. Dan barang
siapa muntah dengan siapa maka wajib baginya untuk mengganti puasanya”.
(HR. At-Thirmidzi, No. 653)
Imam Maliki dan Syafi’i mengatakan puasanya batal, akan tetapi imam Hanafi
mangatakan bahwa muntah itu tidak batal kecuali muntahan itu telah memenuhi
mulutnya. Hambali mengatakan tidak batal kecuali muntahnya banyak hingga
mengotori badannya.
2.
Makan dan Minum
Makan dan minum dapat merusak puasa menurut
hadits di bawah ini :
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَ هُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَ سَقَاهُ. (متفق عليه)
Artinya
: “Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda : ‘Barang
siapa makan atau minum karena lupa dan dia sedang berpuasa maka hendaknya ia
meneruskan puasanya karena sesungguhnya Allah telah memberikannya makan dan
minum’”.(HR Bukhori No. 6176 dan Muslim No. 1952)
Barang
siapa yang berbuka puasa dalam keadaan lupa, maka tidak diwajibkan baginya
untuk mengqadha’ puasanya. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
barang siapa makan dan minum karena lupa maka tidak merusak puasanya, sedangkan
Imam Ahmad mengatakan wajib mengqadha’ dan membayar kafaratnya serta beliau
juga menyatakan dengan makan dan minum yang dilakukannya dengan tidak sengaja
ia tidak mendapatkan sesuatu kecuali apa yang telah ia lakukan. Imam Malik
berpendapat barang siapa makan, minum, ataupun berbuka wajib mengqadha’nya
saja, itu artinya tidak harus membayar kafaratnya.
3.
Memasukkan Makanan
atau Minuman atau yang Sejenisnya ke dalam Lubang yang ada di dalam Tubuh
وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya : “Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar,
kemudian sempurnakanlah sempurna itu sampai (datang) malam”. (Q.S
Al-Baqarah: 187)
Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa
larangan untuk makan dan minum ketika waktu menginjak fajar, sedangkan
memasukkan obat ke dalam perut melalui lubang dubur waktu sedang berpuasa
membatalkan puasa kecuali menurut satu riwayat dari Malik dan Dawud, sedangkan
Syafi’i berpendapat bahwa meneteskan obat ke dalam lubang telinga dan lubang
kemaluan membatalkan puasa.
4.
Bercumbu dengan
Istri tapi tidak sampai Jimak
Bercumbu atau berciuman itu tidak
membatalkan puasa menurut hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُقَبَّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَا ئِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ
Artinya : ”Dari Aisyah ra. berkata
bahwa Rasulullah SAW mencium istrinya padahal ia sedang berpuasa dan bercumbu
dan dia sedang berpuasa akan tetapi dia adalah yang paling kuat menahan
nafsunya daripada kalian”. (HR. Bukhori No. 1792)
Imam
Ahmad berpendapat bahwa mencium istrinya itu hukumnya makruh dalam menjalankan
ibadah puasa, sedangkan Malik berpendapat bahwa kalau dia yakin tidak akan
menjurus kepada persetubuhan maka ia memperbolehkannya, dan jika ia tidak yakin
maka hukumnya haram. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa perbuatan itu keji
jikalau ia tidak aman untuk melakukannya, sedangkan kalau aman ia
memperbolehkannya. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Imam Malik,
sedangkan Imam Syafi’i memperbolehkan asal tidak sampai keluar maninya.
5.
Bersetubuh pada
Siang Hari
Bersetubuh itu membatalkan puasa,
kecuali dalam keadaan lupa, hal ini dikarenakan bahwa orang yang lupa itu tidak
ada hukumnya. Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang bersetubuh
karena lupa pada siang hari tidak wajib qadha’ dan kafarat, sdangkan Malik
berpendapat wajib mangqadha’nya saja tanpa kafarat. Menurut Imam Ahmad dan
Zhahiri wajib qadha’ dan kafarat.
6.
Bercelak
عَنْ
عَاءِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اكْتَحَلَ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ صَائِمٌ (رواه ابن ماجة باءسنادضعيف)
Artinya : “Dari Aisyah ra., sesungguhnya
Nabi SAW telah bercelak pada bulan Ramadhan dan beliau sedang berpuasa”.
Dari hadits di
atas golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bercelak pada bulan
Ramadhan itu diperbolehkan walaupun ada rasanya pada rambutnya. Sedangakan
menurut Malikiyah da Hanabilah, bercelak itu merusak puasa jika ada rasanya dan
makruh bila tidak ada rasanya.
7.
Berbekam
Berbekam itu membatalkan puasa menurut
hadits berikut :
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَهُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Imam Ahmad
berpendapat bahwa berbekam itu membatalkan puasaserta wajib mengqadha’nya. Ibnu
Abbas berpendapat sesungguhnya berbekam itu tidak membatalkan puasa, akan
tetapi dihukumi makruh kalau tidak ada kebutuhan yang sangat penting untuk
melakukannya, sedangkan menurut Syafi’iyah berbekam itu hukumnya makruh pada
bulan Ramadhan.
G.
Hikmah Puasa
Ibadah
puasa itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut :
1.
Ditinjau dari
Kesehatan
Puasa merupakan salah satu cara untuk
memperbaharui kehidupan manusia, yaitu dengan membuang makanan yang telah lama
mengendap dan menggantikannya dengan yang baru, mengistirahatkan perut dan alat
pencernaan, memelihara tubuh, membersihkan sisa-sisa makanan yang mengendap dan
tidak tercerna, serta menghilangkan bau busuk yang disebabkan oleh makanan dan
minuman. Nabi SAW bersabda:
صو
موا تصحوا (رواه السونى وأبو نعيم عن أبو هريرة)
Artinya: “Berpuasalah, niscaya kalian
akan sehat”. (HR. Ibnu as-Sunni dan Abu Nu’aim)
2.
Ditinjau dari Segi
Akhlak
Puasa adalah jihad melawan nafsu, menangkal godaan-godaan dan
rayuan-rayuan setan yang kadang terlintas dalam pikiran. Puasa juga dapat
membiasakan seseorang untuk bersikap sabar, penderitaan, kesulitan. Puasa juga
dapat menumbuhkan sifat iffah yaitu mampu mengendalikan dan mengarahkan
hawa nafsu.
3.
Ditinjau dari Segi
Agama
Puasa
merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT,tujuan orang yang berpuasa
semata-mata karena Allah, mengharap pahala dari-Nya, karena dia akan memperoleh
ridho Allah SWT dan berhak memasuki surga dari pintu khusus yaitu ar-Rayyan.
Allah SWT berfirman :
يَاَيُّهَا
الَّذِ يْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِ
يْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaiman diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. (Q.S al-Baqarah:
183)
Puasa juga bisa
menambah kepekaan seseorang bahwa irinya selalu diamati oleh Allah SWT.
Pekerjaan apapun yang dilakukannya, pasti Allah akan melihatnya. Allah SWT
berfirman :
وَهُوَ
مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْ.
Artinya : ”Dan
dia menyertai kalian, di mana da kapan pun klian berada”. (al-Hadid: 4).
4.
Ditinjau dari Segi
Sosial
Puasa bisa membuat yang kaya ingat kepada yang miskin, yang
mulia ingat kepada yang hina dan yang tinggi pun ingat kepada yang rendah.
Mereka dapat menemukan jiwa kesucian, mempertemukan jiwa kasih sayang, perasaan
saling menghormati antara satu dengan yang lainnya, yang hanya di dorong oleh
perasaan sayang, lalu mengeluarkan sebagian hartanya untuk fakir miskin, yang
tinggi di desak oleh rasa atau jiwa persamaan sehingga memandang yang rendah
sebagai saudara sebangsa dan seagama yang tidak boleh berlebih dan berkurang
dalam hak asasi yang mulia di desak oleh jiwa dan kesadaran terhadap kaum yang
dianggap hina-dina. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang menerangkan:
عَنْ
زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ فَطَّرَ صَاءِمًا كَانَ
لَهُ أَوْ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَّاءِمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقَصَ مِنْ
أَجْرِ الصَّاءِمِ
(رواه أحمد)
Content bagus.
BalasHapusTapi backgroud ungu teks hitam sangat tidak nyamman untuk di bc