Selasa, 31 Mei 2016

PUASA

A.    Pengertian Puasa
Puasa merupakan terjemahan dari kata bahasa arab shoumun, shiyamun. Arti puasa menurut bahasa ialah menahan. Sedangkan menurut istilah syari’at islam ialah menahan dari perkara-perkara yang membatalkan selama satu hari penuh mulai dari terbitnya fajar shodiq sampai terbanam matahari dengan disertai niat.

B.     Macam-macam Puasa
Malikiyyah, syafi’iyyah dan hanabillah sepakat bahwa puasa terbagi menjadi 4 bagian:
a.       Puasa fardlu (wajib)
b.      Puasa sunnah
c.       Puasa haram
d.      Puasa makruh
Sedangkan menurut Hanafiyah puasa itu terbagi 2 bagian:
a.       Puasa fardlu
b.      Puasa sunnah 

Ø  Puasa Wajib
-          Puasa ramadlan
Merupakan rukun islam yang ke-3, diwajibkan pada tahun ke dua hijriyah, yaitu tahun kedua sesudah nabi Muhammad SAW hijrah ke madinah. Wajib dilakukan bagi orang islam yang berakal, baligh, sehat, menetap dan wanita yang suci dari hadats besar.
-          Puasa qadha’
Diwajibkan bagi muslim yang berhalangan menunaikan puasa ramadhan pada waktunya karena adanya udzur, dan dilaksanakan setelah bulan ramadhan di luar hari-hari larangan (tasyrik).
-          Puasa kafarat
Adalah puasa yang wajib dilakukan oleh muslim yang tidak berpuasa di bulan ramadhan karena khilaf.
-          Puasa nadzar
Puasa nadzar wajib dilaksanakan menurut nadzar yang telah dinadzarkan.

C.    Dalil Puasa Wajib
1.       Puasa Ramadhan

2_185
“[2:185] (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”



2.       Puasa Nadzar

22_29
“[22:29] Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran988 yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka989 dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).”

3.      Puasa Qada’

3_133
“[3:133] Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”

4.      Puasa Kafarat
5_89
“[5:89] Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”

D.    Puasa Sunnah.
1.      Pengertian Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW, jika dikerjakan akan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa.
Puasa sunnah juga dapat disebut dengan puasa Tathawwu’. Tathawwu artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan amal ibadah yang tidak wajib.

2.      Macam-macam Puasa Sunnah (Tathawwu’)
Menurut kesepakatan para Ulama, yang termasuk puasa tathawwu adalah sebagai berikut:
a.      Puasa Sehari dan Berbuka Sehari (Daud)
Puasa Daud adalah puasa yang dahulu pernah dilakukan oleh Nabi Daud as., yang dilaksanakan sehari berpuasa dan sehari berbuka. Hal ini berdasarkan hadits yang terdapat dalam kitab as-Shahihain, dikemukakan sebagai berikut:
Artinya: “Puasa yang paling utama ialah puasa Daud. Dia berpuasa sehari dan berbuka sehari”. (HR. Muttafaqun’ alaih).
b.      Puasa Putih (Shiyamul-Bidh)
Dalam puasa jenis ini yang lebih utama ialah berpuasa pada tiga hari Bidh, yakni pada tanggal 13,14, dan 15. Ketiga hari ini dinamakan Bidh, karena malam hari pada ketiganya diterangi bulan dan siang harinya diterangi matahari. Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Dari Abu Dzar, Rasulullah SAW. Telah berkata: ‘Hai Abu Dzar, apabila engkau hendak puasa hanya tiga hari dalam satu bulan, hendaklah engkau puasa pada tanggal 13,14, dan 15”. (HR. Ahmad dan Nasa’i).

c.       Puasa Senin-Kamis
Puasa Senin-Kamis dituntunkan oleh Rasulullah SAW. untuk dapat dijadikan amalan sunnah oleh umatnya, sebagaimana diterangkan dalam sebuah Hadits.
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW., berpuas apada hari Senin-Kamis lalu ketika beliau dintanya mengenai hal itu, beliau bersabda : ‘Sesungguhnya, amalan-amalan manusia diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis’.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

d.      Puasa Syawal
Puasa Syawal adalah puasa yang dilaksanakan setelah tanggal 1 Syawal sebanyak 6 hari. Puasa ini dapat dilaksanakan berturut-turut atau dapat juga dilaksanakan tidak secara berturut-turut. Karena dalam hal demikian, berarti seseorang bersegera dalam melakukan ibadah. Seseorang akan mendapatkan pahala puasa tersebut meskipun puasanya dimaksudkan sebagai puasa qadha’, nadzar, atau yang lainnya.
Artinya: “Dari Abu Ayyub, Rasulullah SAW. bersabda: Barangsiapa puasa dalam bulan Ramadhan, kemudian ia puasa pada enam hari pada bulan Syawal, adalh seperti puasa sepanjang masa”. (HR. Muslim)

e.       Puasa ‘Arafah
Puasa ‘Arafah ialah puasa sunnah yang dituntunkan Rasulullah untuk dapat ditunaikan oleh setiap Muslim yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Sedang bagi orang yang sedang menunaikan ibadah haji, ibadah ini tidak ditentukan, bahkan Rasulullah melarang orang yang tengah berada di ‘arafah (wuquf) melakukan puasa Arafah ini tuntunan ibadah puasa ‘Arafah ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW.
Artinya: “Nabi SAW. telah ditanya tentang puasa Arafah, beliau berkata: Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu, dan satu tahun yang akan datang”. (HR. Muslim).
Adapun orang yang melakukan ibadah haji tidak disunnahkan berpuasa pada hari ‘Arafah justru disunnahkan berbuka pada hari ini, meskipun kuat berpuasa.
Namun, madzhab Hanafi menyatakan bahwa, orang yang melakukan ibadah haji boleh berpuasa pada hari ‘Arafah. Dengan catatan puasanya tidak membuat lemah.

f.       Puasa pada hari Tasu’ah dan ‘Asyura: yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Puasa jenis ini disunnahkan lagi (akan lebih baik) jika keduanya dilakukan secara berurutan. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
Artinya: “Rasulullah ditanya tentang puasa ‘Asyura’ beliau berkata: ‘Puas hari ‘Asyura’ itu menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu”.(HR. Muslim)
Para Ulam berpendapat bahwa hadits-hadits yang memerintahkan puasa pada hari ‘Asyura’ menunjukkan bahwa puasa tersebut sangat ditekankan.
Seseorang yang berpuasa Tasu’a tanpa Asyura’, menurut madzhab Syafi’i, disunnahkan berpuasa pada tanggal 11 muharram. Bahkan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm dan Al-Imla’ lebih menegaskan mengenai disunnahkannya puasa pada ketiga hari tersebut (yakni tanggal 9,10, dan 11 Muharram.
Rasulullah SAW, memerintahkan puasa Asyura’ ini sebelum turunnya kewajiban berpuasa pada bulan ramadhan, dan menurut Jumhur Ulama hukumnya tidak wajib, melainkan sunnah muakad, dan hukum itu tetap berlaku setelah puasa Ramadhan diwajibkan.

g.      Puasa pada bulan Muharram dan Sya’ban
Berpuasa pada bulan Muharram dan Sya’ban merupakan keutamaan, karena menurut berbagai riwayat, Rasulullah SAW, selalu puasa dan menganjurkannya agar umatnya berpuasa pada bulan tersebut.
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., bersabda Rasulullah SAW.: Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan ialah (puasa pada) bulan Allah, Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu ialah shalat malam”. (HR. Muslim).
Sebagian orang memandang makruh berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa puasa pada pertengahan akhir bulan Sya’ban, hukumnya tidak sah. Pendapat ini didasarkan pada hadits berikut:
Artinya: “Jika (bulan) Sya’ban telah mencapai pertengahan, maka janganlah kalian berpuasa”. (HR.Muslim)



3.      Beberapa Pendapat Madzhab Mengenai Puasa Sunnah
Para fuqaha mengklasifikasikan puasa-puasa tathawwu’ sebagai berikut:
Imam Hanafi
      Puasa tathawwu’, menurut madzhab ini terdiri atas tiga macam, yaitu:
(1)   Puasa Sunnah
Puasa Sunnah adalah puasa yang dilakukan oleh Rasulullah secara terus-menerus.
Seperti Puasa ‘Asyura yang disertai puasa Tasu’a.
(2)   Puasa Mandub
Puasa yang dilakukan oleh Rasulullah tidak terus-menerus.
Seperti puasa tiga hari dalam setiap bulan. Puasa dalam tiga hari ini dipandang sebgai puasa mandub karena ketiganya merupakan hari Bidh, yaitu pada tanggal 13,14, dan 15. Puasa mandub lainnya adalah puasa pada hari Senin-Kamis dan puasa pada enam hari pada bulan Syawal. Puasa mandub berikutnya adalah puasa ‘Arafah. Puasa ini dipandang mandub, sekalipun bagi orang yang melakukan ibadah haji. Dengan catatan, puasa tersebut tidak membuatnya lemah ketika wukuf di ‘Arafah. Jika puasa tersebut membuatnya lemah, maka hukumnya makruh.
(3)   Puasa Nafilah
Puasa Nafilah adalah puasa selain keduanya, yakni puasa yang dianjurkan oleh syara’ secara umum.  

Madzhab Maliki
      Menurut madzhab ini, puasa tathawwu’ terdiri atas 3 jenis, yaitu puasa sunnah, puasa mustahab, dan puasa nafilah. Dalam hal ini pendapat mereka sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
      Puasa sunnah adalah puasa Asyura’, yakni tanggal 10 Muharram, sedangkan puasa Mustahab adalah puasa pada bulan-bulan mulia puasa pada bulan Sya’ban, puasa sepuluh hari bulan Dzulhijah, puasa ‘Arafah , puasa enam hari dalam bulan Syawal, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa hari Senin-Kamis. Adapun puasa nafilah adalah semua puasa yang tidak mempunyai waktu dan sebab, selain pada hari-hari puasa yang diwajibkan atau dilarang.

Madzhab Syafi’i
Menurut madzhab Syafi’i, tathawwu’ yang sangat ditekankan (mu’akad) ada dua bagian. Bagian pertama adalah puasa yang dilakukan secara tidak berulang-ulang, seperti puasa dahr. Bagian pertama adalah puasa yang dilakukan secara berulang-ulang.
      Puasa bagian yang kedua ini terdiri atas tiga macam, yaitu:
1.      Puasa yang dilakukan secara berulang karena berulangnya tahun, yaitu puasa ‘Arafah, puasa pada sepuluh hari pada bulan Dzulhijah, puasa Asyura’ dan Tasu’ah, puasa 11 Muharram dan puasa enam hari dalam bulan Syawal.
2.      Puasa yang dilakukan secara berulang karena berulangnya bulan, yaitu puasa pada hari bidh (tanggal 13,14, dan 15) dan puasa pada hari sud (tanggal 28, dan dua hari berikutnya). Jika suatu bulan berjumlah 29 hari, satu hari berikutnya (tanggal 30) diganti dengan tanggal 1 bulan sesudahnya. Sebagai kehati-hatian (ihtiyath), seseorang disunnahkan berpuasa pada hari sud sejak tanggal 27.
3.      Puasa yang dilakukan berulang karena berulangnya Minggu, yaitu puasa pada hari Senin dan Kamis.
Madzhab Hambali
      Madzhab Hambali merinci waktu-waktu puasa tathawwu’ sebagai berikut. Puasa yang paling utama ialah puasa Daud. Puasa Dahr, hukumnya tidak makruh, kecuali bagi orang-orang yang mengkhawatirkan adanya bahaya atau tidak terpenuhi hak dirinya. Puasa tiga hari dalam sebulan, hukumnya sunnah. Yang lebih utama lagi adalah puasa hari-hari bidh.
      Seseorang disunnahkan berpuasa pada hari Senin-Kamis. Begitu juga pada enam hari dalam bulan Syawal. Dan sebaiknya dilakukan secara berturut-turut sesudah hari raya, kecuali bagi orang yang memiliki halangan.
      Puasa pada bulan Muharram, hukumnya sunnah. Bulan ini merupakan bulan yang paling utama setelah bulan Ramadhan. Yang lebih ditekankan lagi adalah puasa pada hari Asyura’. Pahala puasa pada hari ini adalah kafarat untuk dosa 1 tahun.
      Puasa sepuluh hari dalam bulan Dzulhijah, hukumnya sunnah. Puasa pada hari ini lebih utama daripada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam bulan ini, puasa yang lebih ditekankan adalah puasa pada hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijah). Pahala puasa pada hari ini merupakan kafarat untuk dosa dua tahun.

E.     Hadits Puasa Sunnah.

1.      Puasa enam hari di bulan syawal

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)
2.      Puasa sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah

مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَقَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْءٍ
"Tidak hari-hari yang beramal shalih pada hari itu lebih Allah cintai daripada amal shalih yang dilakukan pada sepuluh hari ini." Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Beliau menjawab, "Tidak pula jihad di jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan membawa apapun."
3.      Puasa muharram
اللَّيْلِ صَلاَةُ الْفَرِيضَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ وَأَفْضَلُ الْمُحَرَّمُ اللَّهِ شَهْرُ رَمَضَانَ بَعْدَ الصِّيَامِ أَفْضَلُ
 “… dan barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Muharram maka baginya dari setiap hari (bagaikan berpuasa) 30 hari”.
4.      Puasa hari tasu’a dan asyura’
أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ
 "Puasa hari 'Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim no. 1975)
5.      Puasa sya’ban
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
 “Saya tidak pernah melihat Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada Sya’ban dan Ramadhan.”
6.      Puasa pada bulan – bulan haram
وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ مَعَ الْمُتَّقِينَ مَعَ تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
7.      Puasa senin dan kamis
الُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌالأَعْمَتُعْرَضُ
 “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.
(HR. Tirmidzi no. 747. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi, shahih dilihat dari jalur lainnya. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1041)
8.      Puasa ayyamul bidh
حَضَرٍ وَلا سَفَرٍ في الْبِيضِ أَيَّامِ مَ صَوْيَدَعُ لا وسلم عليه اللَّهُ صلى اللَّهِ رسول كان
“Adalah Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari putih,baik diwaktu safar maupun disaat mukim.”
(HR.At-thabarani: ,dishahihkan Al-Albani dalam shahihul jami’:4848).
9.      Puasa daud
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Puasa yang paling disukai di sisi Allah adalah puasa Daud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam  malam terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan buka sehari.”

10.  Puasa hari arafah
يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ امُصِوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
 “Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

F.     Hal yang membatalkan puasa
1.      Muntah yang disengaja
Nabi SAW bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنْ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
Artinya : “Barang siapa yang muntah karena tidak sengaja, maka tidak ada kewajiban mengganti puasanya. Dan barang siapa muntah dengan siapa maka wajib baginya untuk mengganti puasanya”. (HR. At-Thirmidzi, No. 653)
Imam Maliki dan Syafi’i mengatakan puasanya batal, akan tetapi imam Hanafi mangatakan bahwa muntah itu tidak batal kecuali muntahan itu telah memenuhi mulutnya. Hambali mengatakan tidak batal kecuali muntahnya banyak hingga mengotori badannya.




2.      Makan dan Minum
Makan dan minum dapat merusak puasa menurut hadits di bawah ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَ هُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَ سَقَاهُ. (متفق عليه)
      Artinya : “Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda : ‘Barang siapa makan atau minum karena lupa dan dia sedang berpuasa maka hendaknya ia meneruskan puasanya karena sesungguhnya Allah telah memberikannya makan dan minum’”.(HR Bukhori No. 6176 dan Muslim No. 1952)

Barang siapa yang berbuka puasa dalam keadaan lupa, maka tidak diwajibkan baginya untuk mengqadha’ puasanya. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa barang siapa makan dan minum karena lupa maka tidak merusak puasanya, sedangkan Imam Ahmad mengatakan wajib mengqadha’ dan membayar kafaratnya serta beliau juga menyatakan dengan makan dan minum yang dilakukannya dengan tidak sengaja ia tidak mendapatkan sesuatu kecuali apa yang telah ia lakukan. Imam Malik berpendapat barang siapa makan, minum, ataupun berbuka wajib mengqadha’nya saja, itu artinya tidak harus membayar kafaratnya.





3.      Memasukkan Makanan atau Minuman atau yang Sejenisnya ke dalam Lubang yang ada di dalam Tubuh
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah sempurna itu sampai (datang) malam”. (Q.S Al-Baqarah: 187)
     
Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa larangan untuk makan dan minum ketika waktu menginjak fajar, sedangkan memasukkan obat ke dalam perut melalui lubang dubur waktu sedang berpuasa membatalkan puasa kecuali menurut satu riwayat dari Malik dan Dawud, sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa meneteskan obat ke dalam lubang telinga dan lubang kemaluan membatalkan puasa.

4.      Bercumbu dengan Istri tapi tidak sampai Jimak
Bercumbu atau berciuman itu tidak membatalkan puasa menurut hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبَّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَا ئِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ
      Artinya : ”Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencium istrinya padahal ia sedang berpuasa dan bercumbu dan dia sedang berpuasa akan tetapi dia adalah yang paling kuat menahan nafsunya daripada kalian”. (HR. Bukhori No. 1792)
     
Imam Ahmad berpendapat bahwa mencium istrinya itu hukumnya makruh dalam menjalankan ibadah puasa, sedangkan Malik berpendapat bahwa kalau dia yakin tidak akan menjurus kepada persetubuhan maka ia memperbolehkannya, dan jika ia tidak yakin maka hukumnya haram. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa perbuatan itu keji jikalau ia tidak aman untuk melakukannya, sedangkan kalau aman ia memperbolehkannya. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Imam Malik, sedangkan Imam Syafi’i memperbolehkan asal tidak sampai keluar maninya.

5.      Bersetubuh pada Siang Hari
Bersetubuh itu membatalkan puasa, kecuali dalam keadaan lupa, hal ini dikarenakan bahwa orang yang lupa itu tidak ada hukumnya. Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang bersetubuh karena lupa pada siang hari tidak wajib qadha’ dan kafarat, sdangkan Malik berpendapat wajib mangqadha’nya saja tanpa kafarat. Menurut Imam Ahmad dan Zhahiri wajib qadha’ dan kafarat.

6.      Bercelak
عَنْ عَاءِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتَحَلَ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ صَائِمٌ (رواه ابن ماجة باءسنادضعيف)
Artinya : “Dari Aisyah ra., sesungguhnya Nabi SAW telah bercelak pada bulan Ramadhan dan beliau sedang berpuasa”.
      Dari hadits di atas golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bercelak pada bulan Ramadhan itu diperbolehkan walaupun ada rasanya pada rambutnya. Sedangakan menurut Malikiyah da Hanabilah, bercelak itu merusak puasa jika ada rasanya dan makruh bila tidak ada rasanya.



7.      Berbekam
Berbekam itu membatalkan puasa menurut hadits berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَهُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
                              Imam Ahmad berpendapat bahwa berbekam itu membatalkan puasaserta wajib mengqadha’nya. Ibnu Abbas berpendapat sesungguhnya berbekam itu tidak membatalkan puasa, akan tetapi dihukumi makruh kalau tidak ada kebutuhan yang sangat penting untuk melakukannya, sedangkan menurut Syafi’iyah berbekam itu hukumnya makruh pada bulan Ramadhan.

G.    Hikmah Puasa
Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut :
1.         Ditinjau dari Kesehatan
Puasa merupakan salah satu cara untuk memperbaharui kehidupan manusia, yaitu dengan membuang makanan yang telah lama mengendap dan menggantikannya dengan yang baru, mengistirahatkan perut dan alat pencernaan, memelihara tubuh, membersihkan sisa-sisa makanan yang mengendap dan tidak tercerna, serta menghilangkan bau busuk yang disebabkan oleh makanan dan minuman. Nabi SAW bersabda:
صو موا تصحوا (رواه السونى وأبو نعيم عن أبو هريرة)
        Artinya: “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat”. (HR. Ibnu as-Sunni dan Abu Nu’aim)


2.         Ditinjau dari Segi Akhlak
        Puasa adalah jihad melawan nafsu, menangkal godaan-godaan dan rayuan-rayuan setan yang kadang terlintas dalam pikiran. Puasa juga dapat membiasakan seseorang untuk bersikap sabar, penderitaan, kesulitan. Puasa juga dapat menumbuhkan sifat iffah yaitu mampu mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu.

3.         Ditinjau dari Segi Agama
        Puasa merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT,tujuan orang yang berpuasa semata-mata karena Allah, mengharap pahala dari-Nya, karena dia akan memperoleh ridho Allah SWT dan berhak memasuki surga dari pintu khusus yaitu ar-Rayyan. Allah SWT berfirman :
يَاَيُّهَا الَّذِ يْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِ يْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
        Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaiman diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. (Q.S al-Baqarah: 183)

        Puasa juga bisa menambah kepekaan seseorang bahwa irinya selalu diamati oleh Allah SWT. Pekerjaan apapun yang dilakukannya, pasti Allah akan melihatnya. Allah SWT berfirman :
وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْ.
        Artinya : ”Dan dia menyertai kalian, di mana da kapan pun klian berada”. (al-Hadid: 4).


4.         Ditinjau dari Segi Sosial
        Puasa bisa membuat yang kaya ingat kepada yang miskin, yang mulia ingat kepada yang hina dan yang tinggi pun ingat kepada yang rendah. Mereka dapat menemukan jiwa kesucian, mempertemukan jiwa kasih sayang, perasaan saling menghormati antara satu dengan yang lainnya, yang hanya di dorong oleh perasaan sayang, lalu mengeluarkan sebagian hartanya untuk fakir miskin, yang tinggi di desak oleh rasa atau jiwa persamaan sehingga memandang yang rendah sebagai saudara sebangsa dan seagama yang tidak boleh berlebih dan berkurang dalam hak asasi yang mulia di desak oleh jiwa dan kesadaran terhadap kaum yang dianggap hina-dina. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang menerangkan:

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَطَّرَ صَاءِمًا كَانَ لَهُ أَوْ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَّاءِمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقَصَ مِنْ أَجْرِ الصَّاءِمِ (رواه أحمد)




1 komentar:

  1. Content bagus.
    Tapi backgroud ungu teks hitam sangat tidak nyamman untuk di bc

    BalasHapus